Sunday, May 17, 2015

Apa implikasi tahap perkembangan kognitif (Piaget) dalam pembelajaran

Nama   : Jusi Aldeska                                                  Kelas   : Fisika B
NPM   : 1413022038                                                  Prodi   : Pendidikan Fisika

1. Apa implikasi tahap perkembangan kognitif (Piaget) dalam pembelajaran?

Jawab :
Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Ditambah cara berfikir anak kurang logis dibanding dengan orang dewasa, maka guru harus mengerti cara berfikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru. Menurut teori, pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikiran anak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu memberi jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk untuk menanggulanginya. Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya di sini adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka memberi tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.

2. Jelaskan empat faktor/kondisi yang mempengaruhi perkembangan intelek!

Jawab : Faktor atau kondisi yang mempengaruhinya adalah sebagai berikut :
1. Faktor Pembawaan (Genetik)
Pembawaan ditentukan oleh sifat dan ciri yang dibawa sejak lahir, kapasitas intelegensi dipengaruhi oleh gen orang tuanya. Namun, yang cenderung mempengaruhi tinggi atau rendahnya tingkat kecerdasan anak tergantung faktor gen mana (ayah atau ibu) yang dominan  mempengaruhinya pada saat terjadinya konsepsi individu. Anak yang lahir telah mempunyai potensi bawaan, tetapi potensi tersebut tidak dapat berkembang dengan baik tanpa mendapat pendidikan dan latihan atau sentuhan dari lingkungan.
2. Faktor Gizi
Kuat atau lemahnya fungsi intelektual juga ditentukan oleh gizi yang memberikan energi atau tenaga bagi anak sehingga dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kebutuhan akan makanan bernilai gizi tinggi (gizi berimbang) terutama yang besar pengaruhnya pada perkembangan intelegensi ialah pada fase prenatal (anak dalam kandungan) hingga usia balita, sedangkan usia diatas lima tahun pengaruhnya tidak signifikan lagi.
3. Faktor Kematangan
Piaget membuat empat tahapan kematangan dalam perkembangan intelektual, yaitu periode sensori motori (0-2 tahun), periode pra operasional (2-7 tahun), periode operasional konkrit (7-11 tahun), dan periode operasional formal (11-16 tahun). Hal tersebut membuktikan bahwa semakin bertambah usia seseorang, intelektualnya makin berfungsi dengan sempurna. Ini berarti faktor kematangan mempengaruhi struktur intelektual, sehingga menimbulkan perubahan-perubahan kualitatif dari fungsi intelektual. Yaitu kemampuan menganalisis (memecahkan suatu permasalahan yang rumit) dengan baik.
4. Kebebasan Psikologis
Kebebasan psikologis perlu dikembangkan pada anak agar intelektualnya berkembang dengan baik. Anak yang memiliki kebebasan untuk berpendapat, tanpa disertai perasaan takut atau cemas dapat merangsang berkembangnya kreativitas dan pola pikir. Mereka bebas memilih cara (metode) tertentu dalam memecahkan persoalan. Hal ini mempunyai sumbangan yang berarti dalam perkembangan intelektual.
Sedangkan menurut teori, faktor atau kondisi yang mempengaruhi perkembangan intelek adalah sebagai berikut :
Menurut Hamalik (200: 89) faktor-faktor yang mempengaruhi intelektual yaitu:
1. Lingkungan
Penelitian terhadap anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan kumuh di kota besar rata-rata IQ nya lebih rendah dibandingkan dengan anak-anak seusia mereka dari masyarakat golongan menengah.
Menurut Bernard dalam Hamalik (2000 : 90) berdasarkan hasil-hasil penelitian dapat di simpulkan bahwa faktor-faktor yang menunjang perkembangan intelektual yang optimal adalah sebagai berikut:
a. Orang tua yang menaruh minat terhadap anak-anak, menyediakan waktu untuk bercengkerama dengan mereka, menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka, memiliki anak-anak yang mendapat skor tinggi dalam tes dan berprestasi baik di sekolah.
b. Faktor-faktor seperti cinta dan kasih sayang, penerimaan terhadap anak, perlakuan yang konsisten yang menunjang kesehatan mental menpunyai pengaruh baik terhadap perkembangan intelektual.
2. Kelamin
Anak laki-laki (sebagai suatu kelompok) memperlihatkan variabilitas yang lebih besar dari pada anak perempuan dalam penyebatan inteligensi. Artinya lebih banyak anak laki-laki yang lemah dalam inteligensi di bandingkan dengan anak perempuan, namun banyak anak laki-laki yang menunjukan superioritas dalam inteligensi di bandingkan anak perempuan.
3. Usia
Kemampuan seseorang untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungannya bertambah sambil ia berkembang menjadi lebih tua. Artinya, bertambah tua usia seseorang, bertambahlah kemampuannya untuk melakukan penyesuaian dirinya dengan lingkungannya.
Secara teoretis pertumbuhan intelektual berhenti pada usia 20 atau 25 tahun. Bagi orang yang lebih inteligen pertumbuhan berlangsung lebih cepat dan terus berlangsung dalam waktu yang lebih lama. Sebaliknya, orang yang kurang inteligen berkembang lebih lambat dan pertumbuhan ini berhenti pada usia yang lebih awal.
Wechsler dalam Hamalik (2000, 90) merumuskan bahwa kemajuan (penambahan) dalam kemampuan mental berlangsung hingga usia 30 dan ssedikit menurun sampai usia 60 tahun.
4. Hereditas
Potensi untuk perkembangan inteligensi diwariskan melalui orang tua. Prinsip ini diterima, baik untuk pihak yang menekankan pentingnya lingkungan maupun oleh pihak yang memperingatkan tentang berapa banyaknya IQ dapat ditingkatkan dengan lingkungan yang baik.
Hal lain ditemukan oleh Jensen atas dasar analisis terhadap data mengenai anak kembar identik. Jensen berkesimpulan bahwa 80 % dari variasi dalam skor IQ disebabkan oleh faktor-faktor keturunan.

3. Bagaimana penggunaan hukuman dan penghargaan dalam pembentukan disiplin dan pengembangan sikap moral anak?

Jawab : Pembentukan disiplin diri merupakan suatu proses yang harus dimulai sejak masa kanak-kanak. Oleh karena itu, pendidikan disiplin pertama-tama sudah dimulai dari keluarga (orang tua). Dalm kehidupan masyarakat secara umum, metode yang paling sering digunakan untuk mendisiplinkan warganya adalah dengan pemberian hukuman. Hal yang sama dilakukan juga oleh sebagian besar orang tua ataupun guru dalam mendidik anak-anak atau muridnya. Kerugiannya adalah disiplin yang tercipta merupakan disiplin jangka pendek, artinya anak hanya menurutinya sebagai tuntutan sesaat, sehingga seringkali tidak tercipta disiplin diri pada mereka. Hal tersebut disebabkan karena dengan hukuman anak lebih banyak mengingat hal-hal negatif yang tidak boleh dilakukan, daripada hal-hal positif yang seharusnya dilakukan. Menurut teori, disiplin tak lain ialah peraturan tata tertib, yang dilakukan dengan tegas dan keras. Tidak saja disiplin itu menghendaki dilaksanakannya segala peraturan dengan teliti dan murni, sampai dalam hal-hal yang kecil-kecil, tak boleh menyimpang sedikitpun, tetapi disiplin menghendaki pula adanya sanksi, yakni kepastian akan keharusan dijatuhkannya hukuman kepada  siapapun, yang melanggar atau mengabaikan peraturan yang sudah ditetapkan. 

4. Bagaimana cara mempelajari dan mengembangkan sikap moral anak? Berikan contohnya!

Jawab : Perkembangan moral anak dapat berlangsung melalui beberapa cara, yakni sebagai berikut:
a.  Pendidikan langsung, yaitu melalui pananaman pengertian tentang tingkah laku yang benar dan yang salah atau yang baik dan yang buruk oleh orang tua, guru ataupun orang dewasa lainnya. Di samping itu, yang paling penting dalam pendidikan moral adalah keteladanan dan orang tua, guru dalam menerapkan nilai-nilai moral.
b. Identifikasi, yaitu dengan cara mengidentifikasi atau meniru penampilan atau tingkah laku moral seseorang yang menjadi idolanya seperti orang tua, guru atau bahkan tokoh favoritnya.
c. Proses coba-coba (trial and error), yaitu dengan cara mengembangkan tingkah laku moral secara coba-coba. Tingkah laku yang mendatangkan pujian atau penghargaan akan terus dikembangkan, sementara tingkah laku yang mendatangkan hukuman atau celaka akan dihentikan sendiri oleh anak tersebut.
Contohnya adalah sebagai berikut :
1. Memberi contoh
Anak usia dini mempunyai sifat suka meniru. Karena orang tua merupakan lingkungan pertama yang ditemui anak, maka ia cenderung meniru apa yang diperbuat oleh orang tuanya.
2. Melibatkan anak menolong orang lain
Anak usia dini diajak untuk berkunjung ke tempat orang yang membutuhkan pertolongan. Anak disuruh menyerahkan sendiri bantuan kepada yang membutuhkan, dengan demikian anak akan memiliki jiwa sosial.
3. Bercerita serial keagamaan
Bagi orang tua yang mempunyai hobi bercerita, luangkan waktu sejenak untuk meninabobokan anak dengan cerita kepahlawanan atau serial keagamaan. Selain memberikan rasa senang pada anak, juga menanamkan nilai-nilai kepahlawanan atau keagamaan pada anak dan konsisten dalam mengajarkannya. Sedangkan menurut teori, mempelajari dan mengembangkan sikap moral anak adalah sebagai berikut :
1. Strategi Latihan dan Pembiasaan
Latihan dan pembiasaan merupakan strategi yang efektif untuk membentuk perilaku tertentu pada anak-anak, termasuk perilaku moral. Dengan latihan dan pembiasaan terbentuklah perilaku yang bersifat relatif menetap. Misalnya, jika anak dibiasakan untuk menghormati anak yang lebih tua atau orang dewasa lainnya, maka anak memiliki kebiasaan yang baik, yaitu selalu menghormati kakaknya atau orang tuanya.
2. Strategi Aktivitas Bermain
Bermain merupakan aktivitas yang dilakukan oleh setiap anak dapat digunakan dan dikelola untuk pengembangan perilaku moral pada anak. Menurut hasil penelitian Piaget (dalam Wantah, 2005: 116), menunjukkan bahwa perkembangan perilaku moral anak usia dini terjadi melalui kegiatan bermain. Pada mulanya anak bermain sendiri tanpa dengan menggunakan mainan. Setelah itu anak bermain menggunakan mainan namun dilakukan sendiri. Kemudian anak bermain bersama temannya bersama temannya namun belum mengikuti aturan-aturan yang berlaku. Selanjutnya anak bermain bersama dengan teman-temannya berdasarkan aturan yang berlaku.
3. Strategi Pembelajaran
Usaha pengembangan moral anak usia dini dapat dilakukan dengan strategi pembelajaran moral. Pendidikan moral dapat disamakan dengan pembelajaran nilai-nilai dan pengembangan watak yang diharapkan dapat dimanifestasikan dalam diri dan perilaku seseorang seperti kejujuran, keberanian, persahabatan, dan penghargaan (Wantah, 2005: 123).

5. Mengapa konsep diri primer yang terbentuk pada masa anak awal penting bagi perkembangan dan pembentukan kepribadian seseorang?

 Jawab : sosialisasi primer sebagai sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil dengan belajar menjadi anggota masyarakat (keluarga). Sosialisasi primer berlangsung saat anak berusia 1-5 tahun atau saat anak belum masuk ke sekolah. Anak mulai mengenal anggota keluarga dan lingkungan keluarga. Secara bertahap dia mulai mampu membedakan dirinya dengan orang lain di sekitar keluarganya. Dalam tahap ini, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan polainteraksi secara terbatas di dalamnya. Warna kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh warna kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dengan anggota keluarga terdekatnya. Menurut teori, sosialisasi primer merupakan sosialisasi pertama yang dijalani individu semasa kecil sampai ia menjadi anggota masyarakat. Sosialisasi primer berlangsung mulai balita, anak-anak, dalam teman sepermainan, dan memasuki masa sekolah. Dalam tahap tersebut, peran orang-orang yang terdekat dengan anak menjadi sangat penting sebab seorang anak melakukan pola interaksi secara terbatas. Corak kepribadian anak akan sangat ditentukan oleh corak kepribadian dan interaksi yang terjadi antara anak dan anggota keluarga terdekat, teman-temannya, dan sekolah. Dengan demikian, sosialisasi primer mengacu bukan saja pada masa awal anak mulai menjalani sosialisasi, tetapi lebih dari itu. Alasannya, apapun yang diserap anak di masa tersebut akan menjadi ciri mendasar kepribadian anak setelah dewasa.


No comments:

Post a Comment